Selasa, 27 November 2012

Surat Cintaku

Kekasih, surat ini sengaja kutulis untukmu. Hanya karena aku tak begitu yakin mampu bertanya kenapa setiap musim juga hujan yang tiba-tiba kita terima acapkali tak meninggalkan namanya di tepi mimpi dan tempat tidur kita. Seperti kita yang tiba-tiba jatuh cinta pada seseorang, lalu pada doa, juga seringkas kenangan dan batas-batas.
Usia kita, kekasihku, tak perlu renta dalam cinta.
Lalu siapa yang berani berjalan lebih cepat dari cinta?
Tapi aku sejenak hanya ingin sendiri dengan mata yang terpejam dan berharap dapat melakukan sesuatu yang terbaik untuk mengenang seseorang. Mungkin aku akan mencatat kenangan itu dalam baris-baris puisi, catatan harian, sebuah cerita kecil atau bahkan mencoba melukis garis-garis wajahnya dipermukaan kertas atau kanvas. Dan kini, aku ingin menulis surat untukmu, sekedar mengenangmu dalam sebuah kerinduan yang paling hening, sekedar menyampaikan sesuatu dengan sederhana dan terus terang. Lalu kelak malam mengendap senyap, dan aku akan menemukan ruang yang cukup mesra untuk menafsirmu lewat puisi, juga doa.
Mei tahun lalu, bukan, barangkali Juni atau Januari tahun ini. Entahlah. Tapi aku ingat, hujan dan puisi tentangmu menyekapku dalam labirin kerinduan yang panjang. Ada kenangan kembali terdengar seperti suara gerimis di daun-daun, tanah dan atap rumah—serupa bunyi detik jam atau suara hela menarik napas. Sekejap puisi pun menjadi lengkap ketika disebuah tikungan jalan aku bertemu denganmu—sebuah tikungan yang sampai kini tak pernah bisa aku luruskan dengan beberapa kata dan semesta air mata. Cinta datang tanpa memberi kita waktu yang panjang untuk membicarakannya…
Aku tak pernah setuju bahwa aku pernah jatuh cinta dengan tergesa-gesa pada seseorang seperti anak kecil yang tiba-tiba jatuh cinta pada sebuah mainan di etalase toko tepi jalan. Setiap orang memang cenderung demikian tergesa-gesa menerima cinta sebagai sesuatu yang gampang dan sepenuhnya indah, tanpa luka. Padahal Gibran pernah bilang bahwa cinta adalah “mahkota sekaligus penyaliban.” Tapi kerapkali kita menolak satu sisi perih dari keping cinta bermata dua.
(2)
Tiba-tiba jam berputar serupa labirin…
Ada kawan sedang patah hati. Setiap malam menjeritkan nyerinya. Ia lantas di pagi harinya—sudah menjadi sebuah “penyakit” tetapi lumayan kreatif—akan membacakan puisi di toilet keras-keras. Hingga antrian orang yang mau mandi terus menggerutu. Ketika melihat kondisi kawanku yang kadang dapat meresahkan masyarakat, gila dan anarkis, aku akan perlahan mendekatinya. Tetapi ia bicara padaku bahwa ia heran dengan perempuan, ia tengah mengutuk tubuhnya sendiri sekaligus mengutuk nasib. Akupun menyusuri warna nasibnya. Ingin membuatnya kembali ceria. Setidaknya malam ini, menjelang ia tidur. Bahwa kemudian pagi hari ia kumat lagi, itu soal lain. Kejadian seperti itu membuatku memikirkan seseuatu yang memang cukup meresahkan.
Tetapi jika prasangka kawanku benar, bahwa seolah-olah asmara berkiblat pada tubuh, maka akan ada beribu orang yang kehilangan hak dicintai dan mencintai. Kawanku selalu mengeluh tentang wajah dalam perjalanan cintanya. “Wajahku jelek, dan perempuan itu cantik,” keluhnya. Ia tak percaya diri. Ia merasa kehilangan sesuatu. Atau bahkan ada pendam berontak seolah-olah ia ingin berteriak, seperi laiknya Gibran: aku dilahirkan dari keindahan cinta dan kasih sayang, maka aku berhak mencintai dan dicintai! “Tapi kenapa?” tanyanya pelan. Sambil berbaring, akupun ikut bertanya: “Apakah ini takdir mpunya firman? Atau jejaring nilai buah konstruksi sosial dan media yang begitu gaduh merekonstruksi mitos tubuh dan wajah pria dan wanita dalam iklan dan disetiap citra yang dibisikkan dalam gosip-gosip para perawan desa maupun gadis-gadis kota yang gandrung majalah remaja?”
Persoalan tersebut akhirnya aku angkat dalam sebuah diskusi menjelang tengah malam yang digelar di sebuah organisasi. Aku memang pernah dengan semangat dan yakin (mungkin juga dendam, defresi atau bahkan gila) berkata: “Wajah, dalam hal ini—disamping uang dan harta, pada dasarnya adalah alasan utama yang kerap menguasai logika perempuan (bahkan laki-laki), kenapa ia membuat yang lainnya berhenti dan terbuang dipintu gerbang asmara. Alasan itu berupa kata-kata yang tak keluar dari mulutnya. Ia mengendap di alam bawah sadar. Perempuan boleh membela diri bahwa krieria wajah atau fisik menempati urutan terbawah dari daftar kriteria tentang imajinasi pasangannnya. Bahkan ada yang membuangnya dari daftar kriteria.
Misal, mereka mengagungkan dan mengutamakan kriteria “lelaki baik hati” sebagai pilihan yang terpenting. Tetapi ketika datang seseorang yang mampu memenuhi kriteria tersebut, ia tetap menolak cintanya dengan alasan yang berbelit-belit: ingin sendiri, mau konsen kuliah, sudah punya pacar (padahal jomblo), belum waktunya, dilarang pacaran sama mama dan sebagainya dan sebagainya… Mereka kesulitan untuk jujur bahwa mereka memiliki obsesi yang tinggi akan wajah yang tampan, tubuh yang bagus dan lainnya…” ucapku panjang lebar. Bahkan dengan jengkel, aku mengatakan bahwa hakikat cinta telah nyaris lenyap dari kesadaran masyarakat. Bahkan di dunia remaja, cinta mengalami reduksi. Ia menjadi sekedar birahi, phsycly dan fun. Atau “cinta” bahkan dipahami sekedar dunia remaja, hubungan asmara antara dua sejoli. Mereka lupa bahwa cinta itu universal. Cinta pada Tuhan, orang tua, sahabat atau bahkan cinta pada orang yang memusuhi kita bla…bla…bla…
Diskusi, seperti biasa, akan melebar; dari mulai sharring, tukar pengalaman, debat, legitimasi ayat dan kutipan, persoalan teologi sampai membayangkan apa bunuh diri paling cantik bagi kami.
Disaat-saat patah hati, misalnya, seseorang memang harus menulis atau bicara banyak hal pada seseorang. Lalu kukatakan pada kawanku: “Setiap orang telah mengalami hal yang sama, Cuma soal waktu dan sikap apa yang seharusnya dilakukan. Kegagalan cinta itu hal yang wajar. Teruslah berjalan, kalau takut, duduklah! Tetapi itu berarti kau kehilangan kesempatan untuk mengerti cinta. Ekspresikan saja luka-luka, tentu saja lewat hal-hal yang positif. Berpuisilah, atau melukislah, atau bernyanyilah, atau menulislah…
Memang, cinta dapat membuat orang merdeka lewat karya-karyanya. Seperti semangat yang berkelindan dalam lukisan Monalisa-nya Leonardo Da Vinci, para filosof, sufi-sufi dan puisi atau karya sastra para sastrawan—karena cinta. Bahkan moralitas, keadilan dan kebenaran lahir dari agungnya cinta. Kita boleh luka oleh cinta, tetapi jangan pernah kalah olehnya (maksudnya, diperbudak). Bahwa kemudian kau tak merasa merdeka karena seseorang tak kunjung mau percaya padamu, itu soal lain. Jangan lari dari luka, tetapi dekaplah perihnya. “Kenikmatan hidup, kawan, dapat hadir dari himpitan rasa sakit…” kataku padanya yang terus murung. “Waspadalah, bukankah cinta juga bisa bikin orang gila—bahkan bunuh diri?”
Setiap orang cenderung selalu ingin merasa utuh dihadapan sang Kekasih. Padahal ia demikian kecil, keinginan yang menggebu untuk menjadi kekasih yang utuh—sebuah obsesi pecinta khas manusia! Seutuh apapun ia, setiap orang memang tak pernah kunjung lengkap. Selalu, setiap orang ingin dilengkapi oleh yang lain, termasuk sang pecinta.
Mungkin juga cinta hamba terhadap Tuhannya. Selalu, keinginan akan kehadiran sang Kekasih kian kekal. Begitupun cinta sesama manusia. Mencintaimu membuatku mau belajar pada setiap orang di tepi jalan, diruas-ruas buku dan kaki langit yang paling sepi—aku mau belajar pada semesta, pada hidup. Tapi bukankah kita juga dapat “mati” oleh cinta jika kita tak menerima cinta sebagai sebuah pelajaran untuk mencintai yang lainnya dalam keadaan paling buruk sekalipun. Perceraian dalam rumah tangga, misalnya, seringkali mengabaikan hal itu, kan? Tapi Nabi Muhammad ketika diludahi, malah mendoakan orang yang meludahinya. Mulia kan? Mungkin itu bagian sikap dari cinta yang agung…
(3)
Tiba-tiba jam berhenti setajam belati…
Kekasih, terus terang, malam ini aku sebenarnya tak mengerti kenapa setiap ingatan tentang masa lalu selalu berharga untuk diungkapkan kembali, bahkan acapkali berharga untuk tetap dipertahankan. Mungkin ini semacam kerinduan. Aku memang selalu bahagia ketika memahami cinta dan kerinduan padamu sebagai sebuah gagasan dan semangat. Hingga aku cukup bahagia mempertahankannya. Karena aku merasa, setiapkali menerima kehadiran seseorang yang dicintai adalah menerima hidup yang maha tenang, nyaman dan giat berkarya serta merenung. Tetapi bisa juga berarti bermain dalam kecemasan. Bukankah kecemasan juga dapat melahirkan keindahan dan sebuah gairah berkarya?
Akupun memang harus belajar untuk hidup tegap dalam setiap keputusanku, meski setiap keputusan itu benar-benar tak nyaman—termasuk ketika aku membuat keputusan untuk tetap bertahan mencintaimu. Aku pernah menulis catatan kecil di halaman pertama buku kawanku: “…sudah saatnya kita mempercayai ada banyak hal yang dapat membuat kita merdeka dalam hidup ini, meski dicari dengan cara yang paling tak nyaman sekalipun.” Aku hanya ingin membuktikan diriku dalam doa-doa yang dapat mengubah setiap kesepian menjdi kenangan; mengubah cinta menjadi karya. Aku ingin belajar mengisi seluruh ruang dengan segenapmu.
Aku percaya, ada sesuatu yang tetap kita pertahankan dalam hidup sesingkat ini. Tapi ia sesuatu yang tak bisa disebut. Hanya jika cinta utuh dimengerti, dengan bathin yang bersih, dengan doa…
Kekasih, aku memang merasa harus menulis tentang apapun. Setidaknya aku berharap dapat belajar mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi yang lain. Malam ini, keheningan berjalan demikian perlahan. Kudengar di luar suara gitar dipetik dan seseorang telah bernyanyi. Meski kadang antara nada gitar dan nyanyian tak selaras. Ingin sekali aku menemani kawanku bernyanyi, tetapi lewat tengah malam adalah jadwalku untuk menulis. Toh bernyanyi ketika malam menjelang shubuh lumayan mengkhawatirkan, mengganggu orang tidur yang tengah bermimpi indah. Aku pernah punya pengalaman ketika nyanyianku harus dibalas dengan lemparan sepatu atau baju kotor. Malam memang lebih cantik ketika seseorang memilih diam, tanpa suara, sekedar tafakur dan menulis. Atau sekedar mengukur beberapa kenangan.
Malam inipun, aku merasa setiap kenangan tentangmu begitu cepat merangkum huruf-huruf, menjadi puisi, catatan kecil dan sebuah inspirasi untuk sebuah cerita sederhana. (walau kadang, lewat tengah malam, inspirasi boleh saja menumpuk, tetapi perut amat keroncongan.) Mungkin ada banyak orang yang selalu tak punya alasan yang cukup untuk membuang setiap kenangan yang cantik, termasuk ketika kerapkali kita demikian gugup mencari alasan yang logis kenapa kita mencintai seseorang. Orang mungkin juga tahu, selalu tak hadir alasan yang layak dan dapat dipahami kenapa mereka mencintai seseorang.
Aku sadar, orang bisa menceritakan, memikirkan dan menjelaskan segalanya tentang cinta—hanya sedikit. Selebihnya adalah entah. Karena, konon, cinta hadir diluar materi dan tidak bisa diukur dengan materi, bahkan ia sesuatu yang tidak bisa disebut. Ia hadir lebih lengkap di luar batas bahasa. Bukankah seringkali perasaan cinta terhadap apapun pada akhirnya tak punya bentuk yang utuh dalam bahasa, tak bernama? Atau memang ada banyak orang yang percaya bahwa pernyataan tentang cinta memang tak terlalu penting dihadirkan dalam kata-kata. Tak heran jika banyak orang yang mengungkapkan dan menjawab cinta dengan metafora, sikap dan isyarat-isyarat. Mereka ingin cinta tak diungkapkan secara verbal. Tapi bukan berarti mengungkapkan cinta dalam kata-kata adalah salah, tolol dan tak percaya diri.
Aku percaya bahwa kata-kata dan gambaran tentang cinta yang dapat hadir menjadi karya. Bahkan mengucapkan “aku cinta padamu” akan menjadi baris kalimat karya yang begitu tegas dalam gema kenangan, tak sekedar isyarat. Sebab isyarat sarat ambiguitas bahasa. Bukankah dengan mengamalkan cinta serta mengucapkannya sebuah persembahan akan menjadi kian lengkap?
Aku memang seringkali menemukanmu demikian utuh dalam diam daripada menemukanmu dalam sebuah obrolan panjang lebar tentangmu dengan seorang kawan. Atau aku telah menemukanmu begitu utuh pula dalam pikiran ketika aku duduk sendirian. Seperti sore tadi, kurasakan angin teduh, sesekali menggugurkan satu-dua daun dan membuatnya berserak dipermukaan tanah yang lembab. Dedaun itu sempat mengingatkan aku pada kenangan-kenangan yang berserak dalam puisi-puisi yang tak selesai atau lagu-lagu yang ingin aku nyanyikan untukmu, tapi tak pernah satupun yang kunjung selesai.
Aku memang cukup lama ringkih dan gugup mencatatmu dalam ingatanku. Tetapi selalu ada alasan yang cukup bagiku merasa bahagia menulis puisi dan catatan kecil tentangmu. Bahkan aku seringkali membayangkan kau membacakannya untukku disebuah tempat yang cukup teduh, sunyi dan sederhana. Aku selalu gembira membayangkan hal itu. Tapi jarak merentang demikian nganga dan kian panjang diantara kita. Kau hadir di batas yang terjauh, ditebing harapan yang letih untuk kutempuh.
Hingga aku mencintaimu dalam diam. Seperti diam ketika dihadapkan pada kenyataan yang sangat rumit untuk diuraikan dipermukaan keinginan. Tetapi kadang cinta membuat kita untuk tetap siap berpikir. Dan aku telah menuliskan setiap cercah pikiran itu. Seperti ketika kita mencintai seseorang, dan ia yang kita cintai tak pernah sedikitpun mencintai kita. Maka kita hanyut dalam arus kegelisahan. Dalam itu, akupun berusaha melupakanmu dengan berbagai cara, tetapi selalu saja malam yang hening dan puisi yang sunyi berulangkali menegaskanmu. Tetapi aku percaya cinta menjadi agung jika kita mampu dan ikhlas mencintai seseorang yang ternyata tak mencintai kita.
Nurani adalah sabda paling lengkap dan ia kadang menunjukkan arah lain. Demikian penempuhan ini, sabda membangun titik dikeseluruhanmu. Aku berharap ada iman yang dahaga dan demikian tetap menyala, menerangi jalan menujumu. Aku pikir, setiap orang punya alasan yang kokoh kenapa ia mesti mempertahankan keyakinannya atas cinta, meski terjal.
(4)
Kakasih, aku menemukan seorang pemikir Islam dalam sebuah buku yang usang. Ia seakan keluar dari huruf-huruf dan membentuk diri yang rendah hati duduk disampingku. Ia lalu berkata: “…jika cinta adalah lampu senter yang menerangi jalan seseorang, ia akan menunjukkan apa arti keadilan, kemuliaan kata, kemurahan hati dan ketaatan. Akupun jadi ingat ketika Hamlet, dalam lakon Shakespeare, mengatakan sesuatu pada Ophelia tentang kebenaran cinta: “Ragukan bahwa bintang-bintang itu api. Ragukan bahwa matahari itu bergerak. Ragukanlah bahwa kebenaran itu dusta. Tapi jangan ragukan cinta.” Seolah-olah Rumi pun membisikkan sebuah kalimat cantik ditelingaku: “Apakah cinta? Dahaga yang sempurna. Maka, biarkan aku berbicara tentang air kehidupan.” Mereka semua berputar, bermuara di segenap diriku.
Bahwa demikian terasa indah dan sia-sia pencarian ini; tetapi berharga. Denganmu aku bermakna. Tertawa saja karenanya. Toh setiap hal mengira itu sebuah lelucon—kecuali hati yang mengerti.
Tapi, disana kerapkali kenyataan bicara lain bahwa setiap harapan ternyata begitu rumit dan remuk, dan kitapun gamang memilih: tetap “bekerja” membentuk harapan atau “bunuh diri” jika setiap penempuhan kadung dianggap tidak realistis, dan kita dipaksa mengamini ketidakmungkinan dan kekalahan diri? Apalagi jika orang-orang disekitar kita berprasangka buruk tentang cinta kita. Lantas, apa yang tersisa pada seseorang yang demikian mencintai segenap kenangan tentang cinta, mencintai sekujur penempuhan tentang cinta dan keseluruhan waktu yang berulangkali bermuara pada seseorang yang dicintainya? Bukankah kita dapat menghapus seseorang yang dicintai dalam kata, tetapi tidak dihati?
Mereka berkata: “kenapa harus cinta dipaksakan?” saya menunduk, diam. Tapi saya harus belajar bahagia dapat mencintai seseorang, sekalipun ia tak mencintaiku dan terasa jauh, menjauh menjelma bayangan…
Pada gilirannya, kelak perasaanku menjadi terdakwa. Aku terpenjara dilema. Aku memang pernah bimbang, cukup lama. Apalagi persoalan bersilang, menumpuk dan acak. Serba letih, aku letih menulis. Tapi, syukurlah, kemudian aku memang begitu lemah untuk sekedar membunuh apa yang telah aku anggap benar—termasuk ketika aku tak mampu berpaling dari setiap gagasan dan keindahan ingatan tentangmu. Jadi, seberapa pentingkah kejujuran? Hingga ketika mengucapkannya harus menerima resiko yang tak kecil: luka, keterasingan…Tetapi kadang aku tersenyum sinis pada kenyataan, mejadi batu-batu yang siap dilemparkan ke langit. Tetapi dalam kesempatan yang lain, aku demikian luruh dihadapanmu. Rikuh. Aku tak kunjung mengerti kenapa aku demikian gemetar dihadapanmu. Selalu, ada perasaan campur aduk menyadari hadirmu, dari mulai malu, kikuk, salah tingkah dan lain sebagainya. Benar, aku harus mulai belajar jadi lelaki konyol seperti itu. Bahkan aku heran, kenapa aku lebih mudah dan berani presentasi di depan kelas atau di forum debat berjam-jam lamanya daripada harus bicara padamu meski beberapa kata tentang rasa rindu, misalnya. Apakah setiap orang pernah mengalami hal serupa?
Aku ingat, disebuah malam yang tenang, seolah Syuhrawardi memberikan sebuah buku usang berjudul Hikayat-hikayat Mistik. Sebelum pergi ia berkata: “…segala sesuatu yang ada dimanapun akan mencari kesempurnaan. Kamu tidak akan pernah melihat seseorang yang tidak cenderung pada keindahan. Dengan demikian, setiap orang adalah pencari keindahan dan berusaha mendapatkannya.” Ucapnya dengan ramah.
Lantas ia melanjutkan kata-katanya: “Tetapi alangkah sulit mendapatkan keindahan, karena pertemuan dengannya harus melalui perantaraan cinta. Dan keindahan tidak tinggal disembarang tempat, dan tidak secara sembarangan menunjukkan wajahnya pada sembarang orang. Jika secara kebetulan menemukan seseorang yang pantas memperolehnya, keindahan mengirimkan kesedihan untuk membersihkan rumah orang itu. Kamu ingin cinta?” Syuhrawardi bertanya padaku. Aku mengangguk pasti lalu ia berkata: “Masukilah dulu kesedihan, jika ia telah membersihkan seluruh dirimu, keindahan akan serta merta memelukmu…” ucapnya. Ia lalu pergi dariku, meninggalkan sisa malam yang indah bersamaku, menulusup cuaca shubuh.
Setelah pertemuan dengan kata-kata agung itu, akupun lahir dalam puisi-puisi yang mengenangmu, meski—aku tahu—kau masih menjauh. Tapi aku masih bahagia. Bukankah keindahan hakikat tak pernah bisa disebut oleh sepasang mata kepala kita yang telanjang? Disini, aku mulai belajar mensyukuri apapun yang terjadi karenamu; menyimpan perlahan sekujur usia ketabahan disepanjang ladang hidup dan pencarian. Maka akupun tetap mencarimu, atau sekedar menunggu kau lewat dihadapanku. Menunggu. Sampai matahari pelan turun dan senja meninggalkan warna jingga di pelupuk mata yang berbinar.
Seperti hidup yang tak pernah mengajarkan aku untuk jenuh ketika duduk sendiri ditepi jalan, memikirkan apapun yang mungkin menyenangkan, meski gamang. Kulihat lalu lalang orang, suara-suara percakapan orang. Seperti begitu menyenangkan pula ketika melihatmu berjalan lewat dan duduk beberapa meter dariku. Aku diam-diam akan melihatmu, karena khawatir kau mengetahui aku mencuri pandang—sebab itu berarti setiap bersitatap selalu bicara tentang sesuatu yang cemas, letih, berjarak bahkan siap merasa kalah—semacam horor rasis, tak ada kecocokan, mitos perbedaan, pongah dan sebagainya serta cerita penyatuan hati yang dianggap mustahil, setidaknya mungkin itu dalih orang yang tak mau mencintai sesamanya (?).
Namun, ketika kamu beranjak dari tempat dudukmu dan berlalu dari sana, tak lama kemudian aku akan duduk ditempat yang sama ketika kamu duduk. Aku berharap duduk ditempat yang sama adalah sesuatu yang menyenangkan, meski kamu telah beranjak pergi, meski—aku tahu—aku demikian gamang dan gemetar membayangkanmu, atau sekedar menghampiri dan menyapamu.
Sepertimu, akupun beranjak pergi dari sana. Sebelum pergi aku sejenak menatap tempat dimana kau sempat duduk dan menyimpan selembar puisi diatasnya, berharap esok hari kau duduk kembali ditempat yang sama dan menemukan puisi itu lalu membacanya. Tetapi bukankah setiap harapan tak selamanya adalah sebuah bentuk keinginan yang utuh terjadi? Begitupun puisi yang sempat aku simpan ditempat yang biasa kau duduk sejenak dan pergi. Esok hari aku mendapati puisiku masih tersimpan disana, dengan huruf-huruf yang luntur karena embun pagi yang dingin dan mengkristal jatuh diatasnya. Huruf-hurufnya tak lagi terbaca. Dan kau tak sempat menemukan dan membacanya.
Namun, ketika kita jatuh cinta, dan kita akan terus menanyakan seseorang yang dicintai sepanjang jalan pada setiap orang. Kita bahkan mencarinya. Tetapi, ketika sudah bertemu dan bertatap muka, kita tak bicara apa-apa. Bisanya hanya diam tak menentu. Memang aneh.
Hal tersebut kerapkali menghkhawatirkanku. Ingin sekali aku lebih tegap bertemu dan bicara denganmu. Hingga aku seringkali belajar pada setiap percakapan tentang pengalaman cinta orang lain. Aku sering mendengarkan obrolan kawa-kawan yang panjang tentang seseorang yang mereka taksir. Atau perilaku mereka ketika jatuh cinta Mereka tak jarang memanggil seseorang dalam gumam sendirian dan senyum-senyum sendiri, bernyanyi sendiri, bahkan diantara kawanku ada yang mendzikirkan nama seseorang yang dicintainya seusai shalat. Konyol, memang.
Aku jadi ingat sebuah pepatah Arab, Man ahabba syai`an aktsara min dzikihii, barangsiapa mencintai sesuatu, tentu banyak menyebutkannya. Akupun seringkali keceplosan memanggil teman perempuanku dengan namamu. Sebuah kesimpulan populer pun dalam pergaulan remaja kadung muncul: mereka curiga aku menyukaimu. Dan saya yakin, mereka tidak berburuk sangka dan menyebar fitnah.
Seseorang telah berkata amat cantik padaku dengan pribahasa Arab, Man mahhadhaka mawaddatahuu faqad khawwalaka muhjatahuu, barangsiapa yang benar-benar ikhlas dalam mencintaimu, maka ia telah memberikan jiwanya padamu. Juga, ia pernah menulis untukku tentang semangat dan cinta: jika cintamu adalah rahim bagi karya-karyamu. Maka rayakanlah cinta itu…meski berliku disetiap jalannya; meski perih disetiap langkahnya…
Aku pikir, ia benar, bahkan aku merasakannya. Memang, setiap senyum dan sapaan dari seseorang yang dicintai ibarat vitamin. Ia dapat membuat gairah, semangat dan gembira. Sebaliknya, beberapa hari atau bahkan jam tak senyum dan menyapaku, aku merasa lemah. Memang hal itu terkesan berlebihan. Tetapi aku merasakannya, denganmu.
Maka, aku telah belajar banyak hal dari penempuhan ini. Cinta telah mengajarkan aku untuk ikhlas mendoakanmu. Cinta yang tidak membangkitkan adalah cinta yang mati. Bukankah manusia harus siap mencintai yang lainnya untuk sepenuhnya percaya bahwa disaat yang sama ia telah mencintai seganap hidup? Di sebuah malam, Rumi pernah membisikan sesuatu ditelingaku: “Hidup adalah sekolah cinta. Dan cinta adalah satu-satunya pelajaran yang harus dipelajari dalam hidup.” Hingga sering aku percaya, bahwa seseorang dapat menjadi baru karena cinta. Ia dapat berputar, menari menempuh batas arti pengetahuan dan pemahaman. Aku, entahlah, mendadak berangsur tenang. Aku ingin menjadi baru.
Saya bersyukur, tentang kekuatan cinta: merubah segalanya jadi hal yang terbaik; besarkan hati, beri kekuatan…
Hingga aku masih berdiri, disini, menatap batas langit—mungkin juga batasmu. Ketika berjalan sendiri, hidupku demikian cukup. Saya ingin percaya bahwa langit telah teduh dan bumi bukan lagi riuh. Aku sendiri ketika manusia terdengar seperti gelas pecah dan kunang-kunang yang saling menjauh keluar dari dadanya. Aku telah sendiri ketika manusia pecah dan menjauh, ketika yang satu tak lagi siap menghargai yang lainnya, ketika yang satu tak lagi siap mencintai yang lainnya. Aku berjalan sendiri dan perlahan menghimpun keheningan dan kenangan disudut kecil yang—aku yakin—kebanyakan orang tak suka melewatinya. Menyendiri.
(5)
Kekasih, kamu berhak sepenuhnya tak bicara sedikitpun untuk menjawab tentang ini. Sebab keseluruhan dirimu telah mengajarkan aku untuk percaya bahwa cinta bisa diajukan bukan sebagai suatu pertanyaan, tetapi sesuatu yang dapat menjadi pelajaran untuk menjadi seseorang yang terbaik bagi yang lainnya, mampu bersikap memberi tanpa menuntut untuk selalu ingin menerima.
Penempuhanku yang absurd menujumu adalah karya terbaikku.
Aku ingin menemukan setiap kerinduan untukmu
sebagai sebuah gagasan dan semangat.
Aku tahu, umur akan terus bertambah disepanjang perjalanan, dalam jeram-jeram harapan akan cinta. Disana, seseorang tak sekedar menikmati cinta, tetapi juga memikirkannya. Bukankah hati juga punya logikanya sendiri? Aku ingin terus mengukur dan mensyukuri umur dengan karya. Berharap—dalam keberanian berkarya—cinta dapat masuk kedalamnya, lewat batas-batas pengertian yang sederhana sekaligus agung. Hingga harapan kelak, karya dapat mendewasakan cinta dan seseorang demikian bahagia menemukan cinta yang mendewasakan sepanjang hidupnya.
Mungkin kelak aku harus belajar bicara langsung tentang sesuatu yang sebenarnya ingin aku sampaikan padamu. Mudah-mudahan aku tak menjadi horor, tak membuat kamu takut. Mungkin suatu saat tiba-tiba aku akan berjalan menikung dan meletih dalam hidup, maka aku dapat belajar banyak hal dari kenangan tentang arti melangkah. Belajar tentang arti kehilangan, kecemasan, keindahan, ketabahan, kerinduan dan arti cinta, doa, arti berharap…Hingga tiba sebuah hidup yang demikian sederhana ketika aku terluka karena kau luka. Aku bahagia karena kau bahagia…
Kekasih, jika malam menjelang, keluarlah dan lihat langit malam. Ada banyak bahasa yang akan berbicara padamu. Sungguh, kita tak sanggup menerka beberapa menit ke depan ataupun hari esok yang penuh rahasia. Tapi, malam ini, kulihat warna langit malam menyimpan apa yang tersisa dari apa yang tak sempat aku tulis dengan selesai tentang dirimu.
Sungguh, telah kuberikan segalanya yang bisa aku berikan.
Disini sudah habis sehabis-habisnya.
Lalu setiap kata melunta dalam peta sengketa.
Setiap cuaca tiba-tiba mulai samar terbaca…
Kekasih, tapi siapa dirimu? Kekasih, tapi dimana dirimu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar