Kekasih, surat ini sengaja kutulis untukmu. Hanya karena aku tak
begitu yakin mampu bertanya kenapa setiap musim juga hujan yang
tiba-tiba kita terima acapkali tak meninggalkan namanya di tepi mimpi
dan tempat tidur kita. Seperti kita yang tiba-tiba jatuh cinta pada
seseorang, lalu pada doa, juga seringkas kenangan dan batas-batas.
Usia kita, kekasihku, tak perlu renta dalam cinta.
Lalu siapa yang berani berjalan lebih cepat dari cinta?
Tapi
aku sejenak hanya ingin sendiri dengan mata yang terpejam dan berharap
dapat melakukan sesuatu yang terbaik untuk mengenang seseorang. Mungkin
aku akan mencatat kenangan itu dalam baris-baris puisi, catatan harian,
sebuah cerita kecil atau bahkan mencoba melukis garis-garis wajahnya
dipermukaan kertas atau kanvas. Dan kini, aku ingin menulis surat
untukmu, sekedar mengenangmu dalam sebuah kerinduan yang paling hening,
sekedar menyampaikan sesuatu dengan sederhana dan terus terang. Lalu
kelak malam mengendap senyap, dan aku akan menemukan ruang yang cukup
mesra untuk menafsirmu lewat puisi, juga doa.
Mei tahun lalu,
bukan, barangkali Juni atau Januari tahun ini. Entahlah. Tapi aku ingat,
hujan dan puisi tentangmu menyekapku dalam labirin kerinduan yang
panjang. Ada kenangan kembali terdengar seperti suara gerimis di
daun-daun, tanah dan atap rumah—serupa bunyi detik jam atau suara hela
menarik napas. Sekejap puisi pun menjadi lengkap ketika disebuah
tikungan jalan aku bertemu denganmu—sebuah tikungan yang sampai kini tak
pernah bisa aku luruskan dengan beberapa kata dan semesta air mata.
Cinta datang tanpa memberi kita waktu yang panjang untuk
membicarakannya…
Aku tak pernah setuju bahwa aku pernah jatuh
cinta dengan tergesa-gesa pada seseorang seperti anak kecil yang
tiba-tiba jatuh cinta pada sebuah mainan di etalase toko tepi jalan.
Setiap orang memang cenderung demikian tergesa-gesa menerima cinta
sebagai sesuatu yang gampang dan sepenuhnya indah, tanpa luka. Padahal
Gibran pernah bilang bahwa cinta adalah “mahkota sekaligus penyaliban.”
Tapi kerapkali kita menolak satu sisi perih dari keping cinta bermata
dua.
(2)
Tiba-tiba jam berputar serupa labirin…
Ada
kawan sedang patah hati. Setiap malam menjeritkan nyerinya. Ia lantas di
pagi harinya—sudah menjadi sebuah “penyakit” tetapi lumayan
kreatif—akan membacakan puisi di toilet keras-keras. Hingga antrian
orang yang mau mandi terus menggerutu. Ketika melihat kondisi kawanku
yang kadang dapat meresahkan masyarakat, gila dan anarkis, aku akan
perlahan mendekatinya. Tetapi ia bicara padaku bahwa ia heran dengan
perempuan, ia tengah mengutuk tubuhnya sendiri sekaligus mengutuk nasib.
Akupun menyusuri warna nasibnya. Ingin membuatnya kembali ceria.
Setidaknya malam ini, menjelang ia tidur. Bahwa kemudian pagi hari ia
kumat lagi, itu soal lain. Kejadian seperti itu membuatku memikirkan
seseuatu yang memang cukup meresahkan.
Tetapi jika prasangka
kawanku benar, bahwa seolah-olah asmara berkiblat pada tubuh, maka akan
ada beribu orang yang kehilangan hak dicintai dan mencintai. Kawanku
selalu mengeluh tentang wajah dalam perjalanan cintanya. “Wajahku jelek,
dan perempuan itu cantik,” keluhnya. Ia tak percaya diri. Ia merasa
kehilangan sesuatu. Atau bahkan ada pendam berontak seolah-olah ia ingin
berteriak, seperi laiknya Gibran: aku dilahirkan dari keindahan cinta
dan kasih sayang, maka aku berhak mencintai dan dicintai! “Tapi kenapa?”
tanyanya pelan. Sambil berbaring, akupun ikut bertanya: “Apakah ini
takdir mpunya firman? Atau jejaring nilai buah konstruksi sosial dan
media yang begitu gaduh merekonstruksi mitos tubuh dan wajah pria dan
wanita dalam iklan dan disetiap citra yang dibisikkan dalam gosip-gosip
para perawan desa maupun gadis-gadis kota yang gandrung majalah remaja?”
Persoalan
tersebut akhirnya aku angkat dalam sebuah diskusi menjelang tengah
malam yang digelar di sebuah organisasi. Aku memang pernah dengan
semangat dan yakin (mungkin juga dendam, defresi atau bahkan gila)
berkata: “Wajah, dalam hal ini—disamping uang dan harta, pada dasarnya
adalah alasan utama yang kerap menguasai logika perempuan (bahkan
laki-laki), kenapa ia membuat yang lainnya berhenti dan terbuang dipintu
gerbang asmara. Alasan itu berupa kata-kata yang tak keluar dari
mulutnya. Ia mengendap di alam bawah sadar. Perempuan boleh membela diri
bahwa krieria wajah atau fisik menempati urutan terbawah dari daftar
kriteria tentang imajinasi pasangannnya. Bahkan ada yang membuangnya
dari daftar kriteria.
Misal, mereka mengagungkan dan mengutamakan
kriteria “lelaki baik hati” sebagai pilihan yang terpenting. Tetapi
ketika datang seseorang yang mampu memenuhi kriteria tersebut, ia tetap
menolak cintanya dengan alasan yang berbelit-belit: ingin sendiri, mau
konsen kuliah, sudah punya pacar (padahal jomblo), belum waktunya,
dilarang pacaran sama mama dan sebagainya dan sebagainya… Mereka
kesulitan untuk jujur bahwa mereka memiliki obsesi yang tinggi akan
wajah yang tampan, tubuh yang bagus dan lainnya…” ucapku panjang lebar.
Bahkan dengan jengkel, aku mengatakan bahwa hakikat cinta telah nyaris
lenyap dari kesadaran masyarakat. Bahkan di dunia remaja, cinta
mengalami reduksi. Ia menjadi sekedar birahi, phsycly dan fun. Atau
“cinta” bahkan dipahami sekedar dunia remaja, hubungan asmara antara dua
sejoli. Mereka lupa bahwa cinta itu universal. Cinta pada Tuhan, orang
tua, sahabat atau bahkan cinta pada orang yang memusuhi kita
bla…bla…bla…
Diskusi, seperti biasa, akan melebar; dari mulai
sharring, tukar pengalaman, debat, legitimasi ayat dan kutipan,
persoalan teologi sampai membayangkan apa bunuh diri paling cantik bagi
kami.
Disaat-saat patah hati, misalnya, seseorang memang harus
menulis atau bicara banyak hal pada seseorang. Lalu kukatakan pada
kawanku: “Setiap orang telah mengalami hal yang sama, Cuma soal waktu
dan sikap apa yang seharusnya dilakukan. Kegagalan cinta itu hal yang
wajar. Teruslah berjalan, kalau takut, duduklah! Tetapi itu berarti kau
kehilangan kesempatan untuk mengerti cinta. Ekspresikan saja luka-luka,
tentu saja lewat hal-hal yang positif. Berpuisilah, atau melukislah,
atau bernyanyilah, atau menulislah…
Memang, cinta dapat membuat
orang merdeka lewat karya-karyanya. Seperti semangat yang berkelindan
dalam lukisan Monalisa-nya Leonardo Da Vinci, para filosof, sufi-sufi
dan puisi atau karya sastra para sastrawan—karena cinta. Bahkan
moralitas, keadilan dan kebenaran lahir dari agungnya cinta. Kita boleh
luka oleh cinta, tetapi jangan pernah kalah olehnya (maksudnya,
diperbudak). Bahwa kemudian kau tak merasa merdeka karena seseorang tak
kunjung mau percaya padamu, itu soal lain. Jangan lari dari luka, tetapi
dekaplah perihnya. “Kenikmatan hidup, kawan, dapat hadir dari himpitan
rasa sakit…” kataku padanya yang terus murung. “Waspadalah, bukankah
cinta juga bisa bikin orang gila—bahkan bunuh diri?”
Setiap orang
cenderung selalu ingin merasa utuh dihadapan sang Kekasih. Padahal ia
demikian kecil, keinginan yang menggebu untuk menjadi kekasih yang
utuh—sebuah obsesi pecinta khas manusia! Seutuh apapun ia, setiap orang
memang tak pernah kunjung lengkap. Selalu, setiap orang ingin dilengkapi
oleh yang lain, termasuk sang pecinta.
Mungkin juga cinta hamba
terhadap Tuhannya. Selalu, keinginan akan kehadiran sang Kekasih kian
kekal. Begitupun cinta sesama manusia. Mencintaimu membuatku mau belajar
pada setiap orang di tepi jalan, diruas-ruas buku dan kaki langit yang
paling sepi—aku mau belajar pada semesta, pada hidup. Tapi bukankah kita
juga dapat “mati” oleh cinta jika kita tak menerima cinta sebagai
sebuah pelajaran untuk mencintai yang lainnya dalam keadaan paling buruk
sekalipun. Perceraian dalam rumah tangga, misalnya, seringkali
mengabaikan hal itu, kan? Tapi Nabi Muhammad ketika diludahi, malah
mendoakan orang yang meludahinya. Mulia kan? Mungkin itu bagian sikap
dari cinta yang agung…
(3)
Tiba-tiba jam berhenti setajam belati…
Kekasih,
terus terang, malam ini aku sebenarnya tak mengerti kenapa setiap
ingatan tentang masa lalu selalu berharga untuk diungkapkan kembali,
bahkan acapkali berharga untuk tetap dipertahankan. Mungkin ini semacam
kerinduan. Aku memang selalu bahagia ketika memahami cinta dan kerinduan
padamu sebagai sebuah gagasan dan semangat. Hingga aku cukup bahagia
mempertahankannya. Karena aku merasa, setiapkali menerima kehadiran
seseorang yang dicintai adalah menerima hidup yang maha tenang, nyaman
dan giat berkarya serta merenung. Tetapi bisa juga berarti bermain dalam
kecemasan. Bukankah kecemasan juga dapat melahirkan keindahan dan
sebuah gairah berkarya?
Akupun memang harus belajar untuk hidup
tegap dalam setiap keputusanku, meski setiap keputusan itu benar-benar
tak nyaman—termasuk ketika aku membuat keputusan untuk tetap bertahan
mencintaimu. Aku pernah menulis catatan kecil di halaman pertama buku
kawanku: “…sudah saatnya kita mempercayai ada banyak hal yang dapat
membuat kita merdeka dalam hidup ini, meski dicari dengan cara yang
paling tak nyaman sekalipun.” Aku hanya ingin membuktikan diriku dalam
doa-doa yang dapat mengubah setiap kesepian menjdi kenangan; mengubah
cinta menjadi karya. Aku ingin belajar mengisi seluruh ruang dengan
segenapmu.
Aku percaya, ada sesuatu yang tetap kita pertahankan
dalam hidup sesingkat ini. Tapi ia sesuatu yang tak bisa disebut. Hanya
jika cinta utuh dimengerti, dengan bathin yang bersih, dengan doa…
Kekasih,
aku memang merasa harus menulis tentang apapun. Setidaknya aku berharap
dapat belajar mempersembahkan sesuatu yang terbaik bagi yang lain.
Malam ini, keheningan berjalan demikian perlahan. Kudengar di luar suara
gitar dipetik dan seseorang telah bernyanyi. Meski kadang antara nada
gitar dan nyanyian tak selaras. Ingin sekali aku menemani kawanku
bernyanyi, tetapi lewat tengah malam adalah jadwalku untuk menulis. Toh
bernyanyi ketika malam menjelang shubuh lumayan mengkhawatirkan,
mengganggu orang tidur yang tengah bermimpi indah. Aku pernah punya
pengalaman ketika nyanyianku harus dibalas dengan lemparan sepatu atau
baju kotor. Malam memang lebih cantik ketika seseorang memilih diam,
tanpa suara, sekedar tafakur dan menulis. Atau sekedar mengukur beberapa
kenangan.
Malam inipun, aku merasa setiap kenangan tentangmu
begitu cepat merangkum huruf-huruf, menjadi puisi, catatan kecil dan
sebuah inspirasi untuk sebuah cerita sederhana. (walau kadang, lewat
tengah malam, inspirasi boleh saja menumpuk, tetapi perut amat
keroncongan.) Mungkin ada banyak orang yang selalu tak punya alasan yang
cukup untuk membuang setiap kenangan yang cantik, termasuk ketika
kerapkali kita demikian gugup mencari alasan yang logis kenapa kita
mencintai seseorang. Orang mungkin juga tahu, selalu tak hadir alasan
yang layak dan dapat dipahami kenapa mereka mencintai seseorang.
Aku
sadar, orang bisa menceritakan, memikirkan dan menjelaskan segalanya
tentang cinta—hanya sedikit. Selebihnya adalah entah. Karena, konon,
cinta hadir diluar materi dan tidak bisa diukur dengan materi, bahkan ia
sesuatu yang tidak bisa disebut. Ia hadir lebih lengkap di luar batas
bahasa. Bukankah seringkali perasaan cinta terhadap apapun pada akhirnya
tak punya bentuk yang utuh dalam bahasa, tak bernama? Atau memang ada
banyak orang yang percaya bahwa pernyataan tentang cinta memang tak
terlalu penting dihadirkan dalam kata-kata. Tak heran jika banyak orang
yang mengungkapkan dan menjawab cinta dengan metafora, sikap dan
isyarat-isyarat. Mereka ingin cinta tak diungkapkan secara verbal. Tapi
bukan berarti mengungkapkan cinta dalam kata-kata adalah salah, tolol
dan tak percaya diri.
Aku percaya bahwa kata-kata dan gambaran
tentang cinta yang dapat hadir menjadi karya. Bahkan mengucapkan “aku
cinta padamu” akan menjadi baris kalimat karya yang begitu tegas dalam
gema kenangan, tak sekedar isyarat. Sebab isyarat sarat ambiguitas
bahasa. Bukankah dengan mengamalkan cinta serta mengucapkannya sebuah
persembahan akan menjadi kian lengkap?
Aku memang seringkali
menemukanmu demikian utuh dalam diam daripada menemukanmu dalam sebuah
obrolan panjang lebar tentangmu dengan seorang kawan. Atau aku telah
menemukanmu begitu utuh pula dalam pikiran ketika aku duduk sendirian.
Seperti sore tadi, kurasakan angin teduh, sesekali menggugurkan satu-dua
daun dan membuatnya berserak dipermukaan tanah yang lembab. Dedaun itu
sempat mengingatkan aku pada kenangan-kenangan yang berserak dalam
puisi-puisi yang tak selesai atau lagu-lagu yang ingin aku nyanyikan
untukmu, tapi tak pernah satupun yang kunjung selesai.
Aku memang
cukup lama ringkih dan gugup mencatatmu dalam ingatanku. Tetapi selalu
ada alasan yang cukup bagiku merasa bahagia menulis puisi dan catatan
kecil tentangmu. Bahkan aku seringkali membayangkan kau membacakannya
untukku disebuah tempat yang cukup teduh, sunyi dan sederhana. Aku
selalu gembira membayangkan hal itu. Tapi jarak merentang demikian
nganga dan kian panjang diantara kita. Kau hadir di batas yang terjauh,
ditebing harapan yang letih untuk kutempuh.
Hingga aku mencintaimu
dalam diam. Seperti diam ketika dihadapkan pada kenyataan yang sangat
rumit untuk diuraikan dipermukaan keinginan. Tetapi kadang cinta membuat
kita untuk tetap siap berpikir. Dan aku telah menuliskan setiap cercah
pikiran itu. Seperti ketika kita mencintai seseorang, dan ia yang kita
cintai tak pernah sedikitpun mencintai kita. Maka kita hanyut dalam arus
kegelisahan. Dalam itu, akupun berusaha melupakanmu dengan berbagai
cara, tetapi selalu saja malam yang hening dan puisi yang sunyi
berulangkali menegaskanmu. Tetapi aku percaya cinta menjadi agung jika
kita mampu dan ikhlas mencintai seseorang yang ternyata tak mencintai
kita.
Nurani adalah sabda paling lengkap dan ia kadang menunjukkan
arah lain. Demikian penempuhan ini, sabda membangun titik
dikeseluruhanmu. Aku berharap ada iman yang dahaga dan demikian tetap
menyala, menerangi jalan menujumu. Aku pikir, setiap orang punya alasan
yang kokoh kenapa ia mesti mempertahankan keyakinannya atas cinta, meski
terjal.
(4)
Kakasih, aku menemukan seorang pemikir Islam
dalam sebuah buku yang usang. Ia seakan keluar dari huruf-huruf dan
membentuk diri yang rendah hati duduk disampingku. Ia lalu berkata:
“…jika cinta adalah lampu senter yang menerangi jalan seseorang, ia akan
menunjukkan apa arti keadilan, kemuliaan kata, kemurahan hati dan
ketaatan. Akupun jadi ingat ketika Hamlet, dalam lakon Shakespeare,
mengatakan sesuatu pada Ophelia tentang kebenaran cinta: “Ragukan bahwa
bintang-bintang itu api. Ragukan bahwa matahari itu bergerak. Ragukanlah
bahwa kebenaran itu dusta. Tapi jangan ragukan cinta.” Seolah-olah Rumi
pun membisikkan sebuah kalimat cantik ditelingaku: “Apakah cinta?
Dahaga yang sempurna. Maka, biarkan aku berbicara tentang air
kehidupan.” Mereka semua berputar, bermuara di segenap diriku.
Bahwa
demikian terasa indah dan sia-sia pencarian ini; tetapi berharga.
Denganmu aku bermakna. Tertawa saja karenanya. Toh setiap hal mengira
itu sebuah lelucon—kecuali hati yang mengerti.
Tapi, disana
kerapkali kenyataan bicara lain bahwa setiap harapan ternyata begitu
rumit dan remuk, dan kitapun gamang memilih: tetap “bekerja” membentuk
harapan atau “bunuh diri” jika setiap penempuhan kadung dianggap tidak
realistis, dan kita dipaksa mengamini ketidakmungkinan dan kekalahan
diri? Apalagi jika orang-orang disekitar kita berprasangka buruk tentang
cinta kita. Lantas, apa yang tersisa pada seseorang yang demikian
mencintai segenap kenangan tentang cinta, mencintai sekujur penempuhan
tentang cinta dan keseluruhan waktu yang berulangkali bermuara pada
seseorang yang dicintainya? Bukankah kita dapat menghapus seseorang yang
dicintai dalam kata, tetapi tidak dihati?
Mereka berkata: “kenapa
harus cinta dipaksakan?” saya menunduk, diam. Tapi saya harus belajar
bahagia dapat mencintai seseorang, sekalipun ia tak mencintaiku dan
terasa jauh, menjauh menjelma bayangan…
Pada gilirannya, kelak
perasaanku menjadi terdakwa. Aku terpenjara dilema. Aku memang pernah
bimbang, cukup lama. Apalagi persoalan bersilang, menumpuk dan acak.
Serba letih, aku letih menulis. Tapi, syukurlah, kemudian aku memang
begitu lemah untuk sekedar membunuh apa yang telah aku anggap
benar—termasuk ketika aku tak mampu berpaling dari setiap gagasan dan
keindahan ingatan tentangmu. Jadi, seberapa pentingkah kejujuran? Hingga
ketika mengucapkannya harus menerima resiko yang tak kecil: luka,
keterasingan…Tetapi kadang aku tersenyum sinis pada kenyataan, mejadi
batu-batu yang siap dilemparkan ke langit. Tetapi dalam kesempatan yang
lain, aku demikian luruh dihadapanmu. Rikuh. Aku tak kunjung mengerti
kenapa aku demikian gemetar dihadapanmu. Selalu, ada perasaan campur
aduk menyadari hadirmu, dari mulai malu, kikuk, salah tingkah dan lain
sebagainya. Benar, aku harus mulai belajar jadi lelaki konyol seperti
itu. Bahkan aku heran, kenapa aku lebih mudah dan berani presentasi di
depan kelas atau di forum debat berjam-jam lamanya daripada harus bicara
padamu meski beberapa kata tentang rasa rindu, misalnya. Apakah setiap
orang pernah mengalami hal serupa?
Aku ingat, disebuah malam yang
tenang, seolah Syuhrawardi memberikan sebuah buku usang berjudul
Hikayat-hikayat Mistik. Sebelum pergi ia berkata: “…segala sesuatu yang
ada dimanapun akan mencari kesempurnaan. Kamu tidak akan pernah melihat
seseorang yang tidak cenderung pada keindahan. Dengan demikian, setiap
orang adalah pencari keindahan dan berusaha mendapatkannya.” Ucapnya
dengan ramah.
Lantas ia melanjutkan kata-katanya: “Tetapi alangkah
sulit mendapatkan keindahan, karena pertemuan dengannya harus melalui
perantaraan cinta. Dan keindahan tidak tinggal disembarang tempat, dan
tidak secara sembarangan menunjukkan wajahnya pada sembarang orang. Jika
secara kebetulan menemukan seseorang yang pantas memperolehnya,
keindahan mengirimkan kesedihan untuk membersihkan rumah orang itu. Kamu
ingin cinta?” Syuhrawardi bertanya padaku. Aku mengangguk pasti lalu ia
berkata: “Masukilah dulu kesedihan, jika ia telah membersihkan seluruh
dirimu, keindahan akan serta merta memelukmu…” ucapnya. Ia lalu pergi
dariku, meninggalkan sisa malam yang indah bersamaku, menulusup cuaca
shubuh.
Setelah pertemuan dengan kata-kata agung itu, akupun lahir
dalam puisi-puisi yang mengenangmu, meski—aku tahu—kau masih menjauh.
Tapi aku masih bahagia. Bukankah keindahan hakikat tak pernah bisa
disebut oleh sepasang mata kepala kita yang telanjang? Disini, aku mulai
belajar mensyukuri apapun yang terjadi karenamu; menyimpan perlahan
sekujur usia ketabahan disepanjang ladang hidup dan pencarian. Maka
akupun tetap mencarimu, atau sekedar menunggu kau lewat dihadapanku.
Menunggu. Sampai matahari pelan turun dan senja meninggalkan warna
jingga di pelupuk mata yang berbinar.
Seperti hidup yang tak
pernah mengajarkan aku untuk jenuh ketika duduk sendiri ditepi jalan,
memikirkan apapun yang mungkin menyenangkan, meski gamang. Kulihat lalu
lalang orang, suara-suara percakapan orang. Seperti begitu menyenangkan
pula ketika melihatmu berjalan lewat dan duduk beberapa meter dariku.
Aku diam-diam akan melihatmu, karena khawatir kau mengetahui aku mencuri
pandang—sebab itu berarti setiap bersitatap selalu bicara tentang
sesuatu yang cemas, letih, berjarak bahkan siap merasa kalah—semacam
horor rasis, tak ada kecocokan, mitos perbedaan, pongah dan sebagainya
serta cerita penyatuan hati yang dianggap mustahil, setidaknya mungkin
itu dalih orang yang tak mau mencintai sesamanya (?).
Namun,
ketika kamu beranjak dari tempat dudukmu dan berlalu dari sana, tak lama
kemudian aku akan duduk ditempat yang sama ketika kamu duduk. Aku
berharap duduk ditempat yang sama adalah sesuatu yang menyenangkan,
meski kamu telah beranjak pergi, meski—aku tahu—aku demikian gamang dan
gemetar membayangkanmu, atau sekedar menghampiri dan menyapamu.
Sepertimu,
akupun beranjak pergi dari sana. Sebelum pergi aku sejenak menatap
tempat dimana kau sempat duduk dan menyimpan selembar puisi diatasnya,
berharap esok hari kau duduk kembali ditempat yang sama dan menemukan
puisi itu lalu membacanya. Tetapi bukankah setiap harapan tak selamanya
adalah sebuah bentuk keinginan yang utuh terjadi? Begitupun puisi yang
sempat aku simpan ditempat yang biasa kau duduk sejenak dan pergi. Esok
hari aku mendapati puisiku masih tersimpan disana, dengan huruf-huruf
yang luntur karena embun pagi yang dingin dan mengkristal jatuh
diatasnya. Huruf-hurufnya tak lagi terbaca. Dan kau tak sempat menemukan
dan membacanya.
Namun, ketika kita jatuh cinta, dan kita akan
terus menanyakan seseorang yang dicintai sepanjang jalan pada setiap
orang. Kita bahkan mencarinya. Tetapi, ketika sudah bertemu dan bertatap
muka, kita tak bicara apa-apa. Bisanya hanya diam tak menentu. Memang
aneh.
Hal tersebut kerapkali menghkhawatirkanku. Ingin sekali aku
lebih tegap bertemu dan bicara denganmu. Hingga aku seringkali belajar
pada setiap percakapan tentang pengalaman cinta orang lain. Aku sering
mendengarkan obrolan kawa-kawan yang panjang tentang seseorang yang
mereka taksir. Atau perilaku mereka ketika jatuh cinta Mereka tak jarang
memanggil seseorang dalam gumam sendirian dan senyum-senyum sendiri,
bernyanyi sendiri, bahkan diantara kawanku ada yang mendzikirkan nama
seseorang yang dicintainya seusai shalat. Konyol, memang.
Aku jadi
ingat sebuah pepatah Arab, Man ahabba syai`an aktsara min dzikihii,
barangsiapa mencintai sesuatu, tentu banyak menyebutkannya. Akupun
seringkali keceplosan memanggil teman perempuanku dengan namamu. Sebuah
kesimpulan populer pun dalam pergaulan remaja kadung muncul: mereka
curiga aku menyukaimu. Dan saya yakin, mereka tidak berburuk sangka dan
menyebar fitnah.
Seseorang telah berkata amat cantik padaku dengan
pribahasa Arab, Man mahhadhaka mawaddatahuu faqad khawwalaka
muhjatahuu, barangsiapa yang benar-benar ikhlas dalam mencintaimu, maka
ia telah memberikan jiwanya padamu. Juga, ia pernah menulis untukku
tentang semangat dan cinta: jika cintamu adalah rahim bagi
karya-karyamu. Maka rayakanlah cinta itu…meski berliku disetiap
jalannya; meski perih disetiap langkahnya…
Aku pikir, ia benar,
bahkan aku merasakannya. Memang, setiap senyum dan sapaan dari seseorang
yang dicintai ibarat vitamin. Ia dapat membuat gairah, semangat dan
gembira. Sebaliknya, beberapa hari atau bahkan jam tak senyum dan
menyapaku, aku merasa lemah. Memang hal itu terkesan berlebihan. Tetapi
aku merasakannya, denganmu.
Maka, aku telah belajar banyak hal
dari penempuhan ini. Cinta telah mengajarkan aku untuk ikhlas
mendoakanmu. Cinta yang tidak membangkitkan adalah cinta yang mati.
Bukankah manusia harus siap mencintai yang lainnya untuk sepenuhnya
percaya bahwa disaat yang sama ia telah mencintai seganap hidup? Di
sebuah malam, Rumi pernah membisikan sesuatu ditelingaku: “Hidup adalah
sekolah cinta. Dan cinta adalah satu-satunya pelajaran yang harus
dipelajari dalam hidup.” Hingga sering aku percaya, bahwa seseorang
dapat menjadi baru karena cinta. Ia dapat berputar, menari menempuh
batas arti pengetahuan dan pemahaman. Aku, entahlah, mendadak berangsur
tenang. Aku ingin menjadi baru.
Saya bersyukur, tentang kekuatan cinta: merubah segalanya jadi hal yang terbaik; besarkan hati, beri kekuatan…
Hingga
aku masih berdiri, disini, menatap batas langit—mungkin juga batasmu.
Ketika berjalan sendiri, hidupku demikian cukup. Saya ingin percaya
bahwa langit telah teduh dan bumi bukan lagi riuh. Aku sendiri ketika
manusia terdengar seperti gelas pecah dan kunang-kunang yang saling
menjauh keluar dari dadanya. Aku telah sendiri ketika manusia pecah dan
menjauh, ketika yang satu tak lagi siap menghargai yang lainnya, ketika
yang satu tak lagi siap mencintai yang lainnya. Aku berjalan sendiri dan
perlahan menghimpun keheningan dan kenangan disudut kecil yang—aku
yakin—kebanyakan orang tak suka melewatinya. Menyendiri.
(5)
Kekasih,
kamu berhak sepenuhnya tak bicara sedikitpun untuk menjawab tentang
ini. Sebab keseluruhan dirimu telah mengajarkan aku untuk percaya bahwa
cinta bisa diajukan bukan sebagai suatu pertanyaan, tetapi sesuatu yang
dapat menjadi pelajaran untuk menjadi seseorang yang terbaik bagi yang
lainnya, mampu bersikap memberi tanpa menuntut untuk selalu ingin
menerima.
Penempuhanku yang absurd menujumu adalah karya terbaikku.
Aku ingin menemukan setiap kerinduan untukmu
sebagai sebuah gagasan dan semangat.
Aku
tahu, umur akan terus bertambah disepanjang perjalanan, dalam
jeram-jeram harapan akan cinta. Disana, seseorang tak sekedar menikmati
cinta, tetapi juga memikirkannya. Bukankah hati juga punya logikanya
sendiri? Aku ingin terus mengukur dan mensyukuri umur dengan karya.
Berharap—dalam keberanian berkarya—cinta dapat masuk kedalamnya, lewat
batas-batas pengertian yang sederhana sekaligus agung. Hingga harapan
kelak, karya dapat mendewasakan cinta dan seseorang demikian bahagia
menemukan cinta yang mendewasakan sepanjang hidupnya.
Mungkin
kelak aku harus belajar bicara langsung tentang sesuatu yang sebenarnya
ingin aku sampaikan padamu. Mudah-mudahan aku tak menjadi horor, tak
membuat kamu takut. Mungkin suatu saat tiba-tiba aku akan berjalan
menikung dan meletih dalam hidup, maka aku dapat belajar banyak hal dari
kenangan tentang arti melangkah. Belajar tentang arti kehilangan,
kecemasan, keindahan, ketabahan, kerinduan dan arti cinta, doa, arti
berharap…Hingga tiba sebuah hidup yang demikian sederhana ketika aku
terluka karena kau luka. Aku bahagia karena kau bahagia…
Kekasih,
jika malam menjelang, keluarlah dan lihat langit malam. Ada banyak
bahasa yang akan berbicara padamu. Sungguh, kita tak sanggup menerka
beberapa menit ke depan ataupun hari esok yang penuh rahasia. Tapi,
malam ini, kulihat warna langit malam menyimpan apa yang tersisa dari
apa yang tak sempat aku tulis dengan selesai tentang dirimu.
Sungguh, telah kuberikan segalanya yang bisa aku berikan.
Disini sudah habis sehabis-habisnya.
Lalu setiap kata melunta dalam peta sengketa.
Setiap cuaca tiba-tiba mulai samar terbaca…
Kekasih, tapi siapa dirimu? Kekasih, tapi dimana dirimu?